Kedatangan bangsa Barat, terutama Belanda, ke Nusantara membawa perubahan yang fundamental pada sistem politik dan sosial. Kekuasaan tradisional yang sebelumnya dipegang penuh oleh sultan, raja, dan bangsawan lokal secara perlahan-lahan runtuh. Proses ini dikenal sebagai Restrukturisasi Kekuasaan lokal, mengubah para pemimpin adat menjadi bagian dari struktur birokrasi kolonial yang dikendalikan dari Batavia.
Sebelum kolonialisme, sultan adalah pemegang otoritas tertinggi, dengan legitimasi yang berasal dari tradisi dan agama. Mereka memiliki hak mutlak atas tanah, pajak, dan militer. Restrukturisasi Kekuasaan oleh Belanda dimulai dengan perjanjian-perjanjian politik yang memaksa penguasa lokal mengakui kedaulatan VOC atau pemerintah Hindia Belanda, membatasi kedaulatan mereka.
Langkah kunci dalam Restrukturisasi Kekuasaan adalah penerapan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Belanda mempertahankan sultan atau raja di posisinya, namun kekuasaan efektif (de facto) berada di tangan residen atau kontrolir Belanda. Penguasa lokal hanya bertindak sebagai perpanjangan tangan untuk memungut pajak dan mengurus masalah domestik.
Akibatnya, status sultan dan raja berubah drastis dari penguasa otonom menjadi “pegawai” atau administrator yang digaji. Status mereka dipertahankan asalkan mereka loyal dan mematuhi kebijakan kolonial, termasuk penyerahan hasil bumi. Siapa pun yang menolak Restrukturisasi Kekuasaan ini akan dilengserkan atau diasingkan.
Belanda juga menciptakan jabatan baru dan menempatkan orang-orang lokal yang dididik dalam sistem kolonial untuk posisi administrasi. Mereka membangun birokrasi yang lebih efisien dan terpusat. Birokrasi baru ini secara bertahap mengambil alih fungsi tradisional bangsawan dalam manajemen sehari-hari.
Sistem Pamong Praja yang dibentuk oleh Belanda adalah contoh nyata dari Restrukturisasi Kekuasaan ini. Jabatan-jabatan seperti Bupati dan wedana yang dulunya merupakan gelar kehormatan, diubah menjadi jabatan administratif yang gajinya dibayar oleh pemerintah kolonial, mengintegrasikan mereka sepenuhnya ke dalam mesin negara.
Dampak jangka panjangnya adalah erosi legitimasi tradisional. Ketika rakyat melihat pemimpin adat mereka tidak lagi mampu melindungi mereka dari kebijakan kolonial yang menindas, loyalitas bergeser. Ini menjadi bibit awal munculnya gerakan nasionalisme modern yang berjuang untuk kemerdekaan.
Dengan demikian, kedatangan Barat mengubah wajah politik lokal secara permanen. Proses Restrukturisasi Kekuasaan telah mengubah sistem otokrasi tradisional menjadi hierarki birokrasi kolonial, menjadikan raja sebagai simbol tanpa kekuatan sejati, dan menyiapkan panggung bagi pembentukan negara modern yang terpusat.